Cerpen
Not a Cinderella Story
Ada sebuah kisah, tentang
Cinderella yang hidup di dunia nyata. Namanya Clara. Hidup bersama ibu tiri yang
memperlakukannya sebagai alat untuk memperkaya diri. Jatuh cinta paada seorang
pangeran yang ahli dalam bidang fotografi.
Clara
adalah seorang novelis jenius yang masih tergolong muda. Setiap kata yang dia
torehkan mampu menyeret pembacanya untuk ikut merasakan pedih, bahagia, maupun
keputusasaan dalam cerita yang ditulisnya. Kisah hidupnya, itulah yang menjadi
sumber inspirasinya….
***
Seorang gadis berusia 10 tahun
hidup dengan penuh penderitaan. Ibunya membunuh ayahnya demi lelaki lain,
meninggalkan gadis malang itu hidup menggelandang dan tidur di kolong jembatan
sementara dirinya bergelimang harta. Memiliki anak bukanlah keinginannya,
itulah alasan mengapa dia tega meninggalkan putri semata wayang yang tidak
pernah dia anggap sebagai anak.
Setelah kematian ayahnya, si
gadis kecil sudah tidak memiliki siapapun yang dia sayangi. Trauma membuat
dirinya lupa akan siapa dirinya. Semua
orang meninggalkannya. Menatapnya jijik melihat penampilannya yang kotor dan
compang-camping. Hingga suatu ketika, datanglah seorang malaikat, merentangkan
tangan, menawarkan kehangatan dan kasih sayang.
Sang
malaikat memberi gadis yang ditolongnya sebuah nama, Mary. Mereka hidup
bahagia, Sang malaikat dan Mary.
Lima
tahun berlalu. Mary telah tumbuh dewasa. Usianya sekarang 17 tahun, dan sekali
lagi dia harus merasakan kehilangan. Malaikat penolongnya pergi
meninggalkannya, menemui kegelapan dan malaikat maut yang menjemputnya.
Kecelakaan tragis. Mobil yang dinaiki oleh sang malaikat penolong tertabrak
kereta yang melaju kencang. Terlempar, berguling, terbentur, terkoyak, jatuh ke
dalam jurang. Saat ditemukan yang tersisa hanyalah seonggok daging dan tulang
tak bernyawa. Hancur dan berselimut darah.
Mary
si gadis malang kembali diurung duka. Kini, dirinya kembali sendiri, sebatang
kara. Tidak tahu harus pergi ke mana, menatap masa depan yang suram
dihadapannya. Setiap malam dia duduk di bawah langit kelam, menatap
bintang-bintang dan berdoa. Berharap Tuhan masih menyayangi dirinya dan
keajaiban mau datang untuk menolongnya…
***
Clara
menatap sinopsis novelnya yang baru terbit minggu lalu. Ya itu adalah kisah
masa kecilnya. Setidaknya, itulah yang dia tahu.
Dalam
seminggu surat-surat pembaca terus mengalir, datang tanpa bisa dicegah. Clara
menghembuskan napas. Ya, kini banyak orang yang memperhatikannya. Namun itu
semua karena novel yang dibuatnya. Dia tidak dapat membayangkan jika suatu saat ketika dia sudak tidak bisa
menulis novel lagi, apakah orang-orang akan tetap memperhatikan dirinya atau
malah pergi begitu saja? Clara menggelengkan kepala, berusaha menghapus
bayangan buruk yang berkelebat dalam kepalanya.
“Clara!”
Suara melengking Madame Rose, kepala penerbit sekaligus ibu tiri Clara,
menggema di seluruh ruangan. Semua orang di ruangan itu menoleh, menatap Clara.
“Ada apa denganmu? Kau bahkan belum menyelesaikan naskah novel yang akan
diterbitkan bulan ini.” Ujar Madame Rose dengan wajah berkerut.
“Ah, maaf, Mam.. Saya masih
belum menemukan ending untuk novel ini. Saya---”
“Bukannya aku tidak menghargai
usahamu, Clae,” sela Madame Rose cepat dengan nada meremehkan. “tapi, kalau ku
tidak bisa mengejar deadline dalam satu minggu, aku tidak bisa menampungmu lagi
dan terpaksa mencari penggantimu. Aku butuh orang yang bisa bekerja dengan
cepat. Kau terlalu lamban. Mengerti? Asal kau tahu, aku memungutmu karena aku
pikir kau bisa berguna!” Madame Rose menatap mata Clara tajam, kemudian pergi
tanpa menunggu respon Clara.
Clara
menatap lantai dengan tatapan kosong. Dia lelah. Clara tahu Madame Rose sebagai
ibu angkatnya memang merawat Clara hanya untuk diperas. Memperkaya dirinya
dengan menjual kisah Clara. Namun itu
lebih baik bagi Clara daripada harus hidup di jalanan bersama para preman dan
gelandangan. Setidaknya dia harus membalas budi Madame Rose karena sudah mau
menampungnya selama ini.
“Hei.” Sapa Luke seraya menepuk
pundak Clara.
Clara menoleh, menatap laki-laki
di sampingnya. Dia adalah seorang fotografer yang sering datang untuk
menyetorkan foto-foto untuk dimuat di majalah-majalah. Sudah lama Clara
mengenalnya dan selama itu pula dia menyimpan rasa kagum pada Luke.
Clara tersenyum. “Hai,”
balasnya.
“Bagaimana naskah novelmu? Sudah
selesai?” senyum Luke mengembang.
Cepat-cepat Clara menggeleng. “Belum.
Masih ada sedikit hambatan, tapi kurasa beberapa hari lagi aku bisa menyelesaikannya.”
Luke menaikkan alisnya. “Oh ya?
Aku sudah tidak sabar novel terbarumu terbit. Kau tahu kan, aku adalah salah
satu penggemar setia novelmu. Kau juga bisa meminta pendapatku kalau kau mau.”
Clara
tersenyum kecil. Tentu dia akan dengan senang hati meminta pendapat Luke, namun
dia tidak mengatakannya.
Dia ingat cerita Cinderella yang
sering diceritakan oleh pengasuhnya saat masih kecil. Jika dia berada di negeri
dongeng, tentu Clara-lah yang menjadi Cinderella. Madame Rose sebagai ibu tiri
dan Luke adalah pangeran yang kelak akan menikah dengan sang Cinderella. Namun,
ini bukanlah negeri dongeng. Tidak ada kalimat ‘happily ever after’ dalam kehidupan nyata.
Clara membuka mulutnya, hendak
mengatakan sesuatu. Namun, kata-katanya tertahan di tenggorokan ketika matanya
menangkap sosok seorang gadis menghampiri mereka dan mengamit lengan Luke
dengan manja. Clara mengatupkan rahang, tidak nyeman dengan pemandangan di
hadapannya.
“Clae, kenalkan, ini Aileen,
tunanganku.” Ujar Luke. Binar matanya memancarkan kebahagiaan sedangkan
tangannya merangkul bahu Aileen.
Tubuh Clara lemas. Semua
mimpinya runtuh dalam sekejap. Bayangan Cinderella dan pangerannya lenyap
seketika. Namun Clara memaksakan dirinya untuk tersenyum dan mengenggukkan
kepala. “Hai.” Katanya kaku kepada Aileen.
Mereka berjabat tangan sejenak,
kemudian Clara buru-buru pergi dari tempat itu sebelum dia menjadi pengganggu
diantara mereka. Clara tidak menyadari adanya sepasang mata yang menatap tajam,
mengiringi kepergiannya.
***
Hari menjelang sore. Clara duduk
di loby, termenung di hadapan laptopnya yang menyala, berusaha memusatkan
pikirannya untuk menyelasaikan naskah novelnya. Loby sepi, sebagian orang sibuk
di ruang kerja dan sebagian lagi sudah pulang ke rumah masing-masing.
“Ehm!”
Clara terlonjak. Matanya mencari
asal suara dan mendapati Aileen tengah berdiri bersandar pada sisi meja
resepsionis. Mata Clara berkedip, bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan oleh
gadis itu.
Aileen menatap Clara lekat dan
tersenyum manis. “Namamu Clara, kan?” tanyanya seraya berjalan mendekat.
Clara mengangguk.
Senyum Aileen semakin
mengembang. “Kukira aku tidak akan pernah bertemu denganmu lagi…”
Clara mengernyit tidak mengerti.
Dia mengangkat alisnya, meminta penjelasan.
“… terakhir aku melihatmu, kau
hanyalah gadis kecil kumal dan tidak memiliki masa depan yang cerah.” Aileen
masih tersenyum, namun kali ini senyumnya berubah menjadi sinis.
Pikiran Clara terbangke dalam
ingatan masa lalu. Tubuhnya membeku. Anak itu! Bagaimana bisa?
“Kau ini sangat polos, ya? Kau
dengan mudahnya percaya dengan cerita orang. Semua yang kau tulis dalam novelmu
itu omong kosong!” nada suara Aileen meninggi. “Ayahmu merayu Mom dan memaksa
Mom untuk menikahinya, padahal Mom sudah memiliki aku dan Dad! Dia bahkan
mengancam akan membunuhku kalau ibu menolak. Dad yang lembut dan tidak ingin
aku mati akhirnya merelakan Mom pergi. Kau lahir satu tahun kemudian.
Sebenarnya itu bukan masalah besar, kalau saja Ayahmu tidak menyiksa Mom setiap
hari. Akhirnya, setelah 11 tahun menikah, Mom tidak tahan lagi dan berencana
untuk meminta cerai. Setelah itu Mom akan kembali pada Dad. Tapi, kau tahu?
Bahkan menyiksa Mom tidak membuat Ayahmu merasa puas. Dia berusaha meracuni
Mom. Yang aku syukuri, dia minum di gelas yang salah.” Aileen tertawa
mencemooh.
“Fitnah yang muncul entah dari
mana membuat Mom dituduh sebagai pembunuh. Karena tidak tahan dengan tekanan
batin, akhirnya Mom melarikan diri ke luar negeri bersama aku dan Dad tanpa
membawamu ikut serta. Karena kau hanya akan membuatnya selalu teringat masa
lalu.” ujar Aileen panjang lebar. Matanya yang sedari tadi menatap bunga-bunga
yang menghiasi meja resepsionis kini menatap Clara lekat.
Clara
tidak dapat mempercayai informasi yang baru saja diterimanya. Benarkah Ayahnya
seperti yang dikatakan Aileen? Benarkah Ayah berniat membunuh ibunya yang juga
ibu dari Aileen? Tidak, tidak mungkin!
Aileen tidak memedulikan Clara
yang diam seribu bahasa. “Selama bertahun-tahun Mom dihantui rasa bersalah
karena meninggalkanmu. Mom bilang, aku tidak boleh dendam padamu. Tapi, siapa
sangka aku malah bertemu denganmu dan tiba-tiba saja aku merasa tidak suka
padamu…” Tangan Aileen meraih sesuatu dari balik punggungnya.
Jantung Clara berdegup kencang. Ada yang aneh
dalam suara Aileen. Tanpa diduga sebelumnya, Aileen menerjang dengan sebilah
pisau di tangannya. Entah dari mana dia mendapatkan pisau itu. Clara bangkit
dari duduknya, berusaha menjaga jarak dengannya.
Aileen
tampak seperti orang gila yang sedang mengamuk. Tangannya menyabet ke segala arah
dengan brutal. Clara menghindar. Kilatan mata Aileen dan seringainya membuat tubuh
Clara gemetar. Dengan cepat, Clara berbalik dan berlari menaiki tangga,
berusaha mencari bantuan. Namun, dia tidak menemukan siapapun. Entah bagaimana kantor
penerbitan itu kini tampak seperti bangunan kosong tak berpenghuni. Di mana
Madame Rose, Luke, dan para pegawai? Di mana semua orang? Clara panik.
“HAH! KAU KIRA AKU KAU BISA
LARI?! KAU SUDAH TIDAK MEMILIKI SIAPAPUN LAGI DI DUNIA INI, SUDAH TIDAK ADA
GUNANYA LAGI KAU HIDUP!” Teriakan Aileen menggema di sepanjang lorong.
Clara terus berlari, berusaha
mencari tempat sembunyi sementara suara langkah kaki di belakangnya semakin
mendekat. Keringat dingin menjalari seluruh tubuhnya.
Clara sampai di ujung lorong.
Buntu. Clara menoleh ke kiri dan melihat ada sebuah pintu yang tertutup. Tangan
Clara yang gemetar berusaha memutar kenop pintu. Terkunci! Clara ingin
menangis. Apakah hidupnya memang ditakdirkan seperti ini? Dia tidak pernah
benar-benar merasakan kebahagiaan. Dan sekarang mungkin adalah saat-saat
terakhir hidupnya.
Clara membalikkan badan dan
mendapati Aileen telah berdiri di hadapannya dengan sikap tenang namun sorot
matanya liar. Aileen menghalangi jalan Clara untuk melarikan diri.
“Tt-tunggu..! Tidak bisakah kita
membicarakannya baik-baik…..?” Clara berusaha mengatasi ketakutannya. Suaranya
bergetar.
Sorot
mata Aileen berubah, menjadi tatapan putus asa. “Kau pikir dengan meminta maaf
semuanya akan kembali normal? Apa dengan begitu kau bisa mengembalikan kondisi
Mom yang sekarang sedang sekarat? Dia gila, Clara! Dia gila!!” Air mata menetes
di pipi Aileen. Dengan emosi yang tidak dapat dipendamnya lagi, Aileen
melemparkan pisau yang digenggamnya ke arah jantung Clara, berharap semuanya
segera berakhir.
Pisau
yang terlempar kuat membentur dinding berlapis karet di sebelah kanan Clara.
Meleset. Tanpa bisa dicegah, pisau tersebut memantul dan kembali pada
pelemparnya. Tidak ada waktu untuk menghindar, apalagi lari. Senjata makan
tuan. Pisau itu menancap tepat di leher Aileen. Menimbulkan semburan darah
segar yang mengalir deras. Tubuh Aileen ambruk ke depan, membuat pisau di
lehernya tembus hingga belakang. Darah menggenang di sekelilingnya.
Mata
Clara terbelalak. Wajahnya pucat pasi menatap mayat Aileen yang mati
mengenaskan. Tubuh Clara merosot dan terduduk di atas lantai yang ternoda
darah, tak mampu bergerak. Gemetar, syok.
Samar-samar
terdengar derap kaki mendekat. Tanpa Clara sadari, orang-orang berdatangan.
Para karyawan, Madame Rose, bahkan Luke. Teriakan tertahan, ekspresi terkejut,
sarta tatapan syok semua tertuju pada tubuh Aileen yang tergeletak tak bernyawa.
“Astaga..!”
“Ya
Tuhan! Apa yang terjadi?!”
“Siapapun..! Cepat selamatkan dia!!”
Di
tengah kepanikan, Clara menangis. Kini semua orang menatap ke arahnya. Ekspresi
panik berubah menjadi marah.
“Clara!
Apa yang telah kau lakukan?! Kau pembunuh!!” Hardik Madame Rose dengan wajah
merah padam. Kalimat tuduhan itu membuat orang-orang ikut menghardik dan
memaki.
“Panggil
polisi!” teriak seseorang.
Wajah
Clara semakin pucat. “Tidak! Tidak! Aku tidak membunuhnya! Tidaaaakk..!!” jerit
Clara histeris di sela tangisnya.
Luke
berjalan mendekat, mencoba menenangkan. Tangannya terulur menyentuh pundak
Clara dengan lembut.
“Luke..
tolong katakan pada mereka. Aku bukan pembunuh. Tolong, keluarkan aku dari
sini! Aku tidak tahan lagi!” Clara semakin frustasi.
Luke
membimbing Clara untuk berdiri. “Tenanglah.. aku akan membebaskanmu…” ujar Luke
tenang. Tangannya merogoh saku jaket. “..dari dunia ini.”
DOR!
Tubuh
Clara roboh. Lubang di kepalanya mengeluarkan aliran darah yang bercampur
dengan darah Aileen. Gelap. Dan semuanya berakhir….
- The End (?)-