Minggu, 13 April 2014

Cerpen



Cerpen
Not a Cinderella Story
                Ada sebuah kisah, tentang Cinderella yang hidup di dunia nyata. Namanya Clara. Hidup bersama ibu tiri yang memperlakukannya sebagai alat untuk memperkaya diri. Jatuh cinta paada seorang pangeran yang ahli dalam bidang fotografi.
Clara adalah seorang novelis jenius yang masih tergolong muda. Setiap kata yang dia torehkan mampu menyeret pembacanya untuk ikut merasakan pedih, bahagia, maupun keputusasaan dalam cerita yang ditulisnya. Kisah hidupnya, itulah yang menjadi sumber inspirasinya….
***
                Seorang gadis berusia 10 tahun hidup dengan penuh penderitaan. Ibunya membunuh ayahnya demi lelaki lain, meninggalkan gadis malang itu hidup menggelandang dan tidur di kolong jembatan sementara dirinya bergelimang harta. Memiliki anak bukanlah keinginannya, itulah alasan mengapa dia tega meninggalkan putri semata wayang yang tidak pernah dia anggap sebagai anak.
                Setelah kematian ayahnya, si gadis kecil sudah tidak memiliki siapapun yang dia sayangi. Trauma membuat dirinya lupa akan siapa dirinya.  Semua orang meninggalkannya. Menatapnya jijik melihat penampilannya yang kotor dan compang-camping. Hingga suatu ketika, datanglah seorang malaikat, merentangkan tangan, menawarkan kehangatan dan kasih sayang.
Sang malaikat memberi gadis yang ditolongnya sebuah nama, Mary. Mereka hidup bahagia, Sang malaikat dan Mary.
Lima tahun berlalu. Mary telah tumbuh dewasa. Usianya sekarang 17 tahun, dan sekali lagi dia harus merasakan kehilangan. Malaikat penolongnya pergi meninggalkannya, menemui kegelapan dan malaikat maut yang menjemputnya. Kecelakaan tragis. Mobil yang dinaiki oleh sang malaikat penolong tertabrak kereta yang melaju kencang. Terlempar, berguling, terbentur, terkoyak, jatuh ke dalam jurang. Saat ditemukan yang tersisa hanyalah seonggok daging dan tulang tak bernyawa. Hancur dan berselimut darah.
Mary si gadis malang kembali diurung duka. Kini, dirinya kembali sendiri, sebatang kara. Tidak tahu harus pergi ke mana, menatap masa depan yang suram dihadapannya. Setiap malam dia duduk di bawah langit kelam, menatap bintang-bintang dan berdoa. Berharap Tuhan masih menyayangi dirinya dan keajaiban mau datang untuk menolongnya…
***
Clara menatap sinopsis novelnya yang baru terbit minggu lalu. Ya itu adalah kisah masa kecilnya. Setidaknya, itulah yang dia tahu.
Dalam seminggu surat-surat pembaca terus mengalir, datang tanpa bisa dicegah. Clara menghembuskan napas. Ya, kini banyak orang yang memperhatikannya. Namun itu semua karena novel yang dibuatnya. Dia tidak dapat membayangkan jika  suatu saat ketika dia sudak tidak bisa menulis novel lagi, apakah orang-orang akan tetap memperhatikan dirinya atau malah pergi begitu saja? Clara menggelengkan kepala, berusaha menghapus bayangan buruk yang berkelebat dalam kepalanya.
“Clara!” Suara melengking Madame Rose, kepala penerbit sekaligus ibu tiri Clara, menggema di seluruh ruangan. Semua orang di ruangan itu menoleh, menatap Clara. “Ada apa denganmu? Kau bahkan belum menyelesaikan naskah novel yang akan diterbitkan bulan ini.” Ujar Madame Rose dengan wajah berkerut.
                “Ah, maaf, Mam.. Saya masih belum menemukan ending untuk novel ini. Saya---”
                “Bukannya aku tidak menghargai usahamu, Clae,” sela Madame Rose cepat dengan nada meremehkan. “tapi, kalau ku tidak bisa mengejar deadline dalam satu minggu, aku tidak bisa menampungmu lagi dan terpaksa mencari penggantimu. Aku butuh orang yang bisa bekerja dengan cepat. Kau terlalu lamban. Mengerti? Asal kau tahu, aku memungutmu karena aku pikir kau bisa berguna!” Madame Rose menatap mata Clara tajam, kemudian pergi tanpa menunggu respon Clara.
Clara menatap lantai dengan tatapan kosong. Dia lelah. Clara tahu Madame Rose sebagai ibu angkatnya memang merawat Clara hanya untuk diperas. Memperkaya dirinya dengan menjual kisah Clara.  Namun itu lebih baik bagi Clara daripada harus hidup di jalanan bersama para preman dan gelandangan. Setidaknya dia harus membalas budi Madame Rose karena sudah mau menampungnya selama ini.
                “Hei.” Sapa Luke seraya menepuk pundak Clara.
                Clara menoleh, menatap laki-laki di sampingnya. Dia adalah seorang fotografer yang sering datang untuk menyetorkan foto-foto untuk dimuat di majalah-majalah. Sudah lama Clara mengenalnya dan selama itu pula dia menyimpan rasa kagum pada Luke.
                Clara tersenyum. “Hai,” balasnya.
                “Bagaimana naskah novelmu? Sudah selesai?” senyum Luke mengembang.
                Cepat-cepat Clara menggeleng. “Belum. Masih ada sedikit hambatan, tapi kurasa beberapa hari lagi aku bisa menyelesaikannya.”
                Luke menaikkan alisnya. “Oh ya? Aku sudah tidak sabar novel terbarumu terbit. Kau tahu kan, aku adalah salah satu penggemar setia novelmu. Kau juga bisa meminta pendapatku kalau kau mau.”
Clara tersenyum kecil. Tentu dia akan dengan senang hati meminta pendapat Luke, namun dia tidak mengatakannya.
                Dia ingat cerita Cinderella yang sering diceritakan oleh pengasuhnya saat masih kecil. Jika dia berada di negeri dongeng, tentu Clara-lah yang menjadi Cinderella. Madame Rose sebagai ibu tiri dan Luke adalah pangeran yang kelak akan menikah dengan sang Cinderella. Namun, ini bukanlah negeri dongeng. Tidak ada kalimat ‘happily ever after’ dalam kehidupan nyata.
                Clara membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu. Namun, kata-katanya tertahan di tenggorokan ketika matanya menangkap sosok seorang gadis menghampiri mereka dan mengamit lengan Luke dengan manja. Clara mengatupkan rahang, tidak nyeman dengan pemandangan di hadapannya.
                “Clae, kenalkan, ini Aileen, tunanganku.” Ujar Luke. Binar matanya memancarkan kebahagiaan sedangkan tangannya merangkul bahu Aileen.
                Tubuh Clara lemas. Semua mimpinya runtuh dalam sekejap. Bayangan Cinderella dan pangerannya lenyap seketika. Namun Clara memaksakan dirinya untuk tersenyum dan mengenggukkan kepala. “Hai.” Katanya kaku kepada Aileen.
                Mereka berjabat tangan sejenak, kemudian Clara buru-buru pergi dari tempat itu sebelum dia menjadi pengganggu diantara mereka. Clara tidak menyadari adanya sepasang mata yang menatap tajam, mengiringi kepergiannya.
***
                Hari menjelang sore. Clara duduk di loby, termenung di hadapan laptopnya yang menyala, berusaha memusatkan pikirannya untuk menyelasaikan naskah novelnya. Loby sepi, sebagian orang sibuk di ruang kerja dan sebagian lagi sudah pulang ke rumah masing-masing.
                “Ehm!”
                Clara terlonjak. Matanya mencari asal suara dan mendapati Aileen tengah berdiri bersandar pada sisi meja resepsionis. Mata Clara berkedip, bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan oleh gadis itu.
                Aileen menatap Clara lekat dan tersenyum manis. “Namamu Clara, kan?” tanyanya seraya berjalan mendekat.
                Clara mengangguk.
                Senyum Aileen semakin mengembang. “Kukira aku tidak akan pernah bertemu denganmu lagi…”
                Clara mengernyit tidak mengerti. Dia mengangkat alisnya, meminta penjelasan.
                “… terakhir aku melihatmu, kau hanyalah gadis kecil kumal dan tidak memiliki masa depan yang cerah.” Aileen masih tersenyum, namun kali ini senyumnya berubah menjadi sinis.
                Pikiran Clara terbangke dalam ingatan masa lalu. Tubuhnya membeku. Anak itu! Bagaimana bisa?
                “Kau ini sangat polos, ya? Kau dengan mudahnya percaya dengan cerita orang. Semua yang kau tulis dalam novelmu itu omong kosong!” nada suara Aileen meninggi. “Ayahmu merayu Mom dan memaksa Mom untuk menikahinya, padahal Mom sudah memiliki aku dan Dad! Dia bahkan mengancam akan membunuhku kalau ibu menolak. Dad yang lembut dan tidak ingin aku mati akhirnya merelakan Mom pergi. Kau lahir satu tahun kemudian. Sebenarnya itu bukan masalah besar, kalau saja Ayahmu tidak menyiksa Mom setiap hari. Akhirnya, setelah 11 tahun menikah, Mom tidak tahan lagi dan berencana untuk meminta cerai. Setelah itu Mom akan kembali pada Dad. Tapi, kau tahu? Bahkan menyiksa Mom tidak membuat Ayahmu merasa puas. Dia berusaha meracuni Mom. Yang aku syukuri, dia minum di gelas yang salah.” Aileen tertawa mencemooh.
                “Fitnah yang muncul entah dari mana membuat Mom dituduh sebagai pembunuh. Karena tidak tahan dengan tekanan batin, akhirnya Mom melarikan diri ke luar negeri bersama aku dan Dad tanpa membawamu ikut serta. Karena kau hanya akan membuatnya selalu teringat masa lalu.” ujar Aileen panjang lebar. Matanya yang sedari tadi menatap bunga-bunga yang menghiasi meja resepsionis kini menatap Clara lekat.
Clara tidak dapat mempercayai informasi yang baru saja diterimanya. Benarkah Ayahnya seperti yang dikatakan Aileen? Benarkah Ayah berniat membunuh ibunya yang juga ibu dari Aileen? Tidak, tidak mungkin!
                Aileen tidak memedulikan Clara yang diam seribu bahasa. “Selama bertahun-tahun Mom dihantui rasa bersalah karena meninggalkanmu. Mom bilang, aku tidak boleh dendam padamu. Tapi, siapa sangka aku malah bertemu denganmu dan tiba-tiba saja aku merasa tidak suka padamu…” Tangan Aileen meraih sesuatu dari balik punggungnya.
                 Jantung Clara berdegup kencang. Ada yang aneh dalam suara Aileen. Tanpa diduga sebelumnya, Aileen menerjang dengan sebilah pisau di tangannya. Entah dari mana dia mendapatkan pisau itu. Clara bangkit dari duduknya, berusaha menjaga jarak dengannya.
Aileen tampak seperti orang gila yang sedang mengamuk. Tangannya menyabet ke segala arah dengan brutal. Clara menghindar. Kilatan mata Aileen dan seringainya membuat tubuh Clara gemetar. Dengan cepat, Clara berbalik dan berlari menaiki tangga, berusaha mencari bantuan. Namun, dia tidak menemukan siapapun. Entah bagaimana kantor penerbitan itu kini tampak seperti bangunan kosong tak berpenghuni. Di mana Madame Rose, Luke, dan para pegawai? Di mana semua orang? Clara panik.
                “HAH! KAU KIRA AKU KAU BISA LARI?! KAU SUDAH TIDAK MEMILIKI SIAPAPUN LAGI DI DUNIA INI, SUDAH TIDAK ADA GUNANYA LAGI KAU HIDUP!” Teriakan Aileen menggema di sepanjang lorong.
                Clara terus berlari, berusaha mencari tempat sembunyi sementara suara langkah kaki di belakangnya semakin mendekat. Keringat dingin menjalari seluruh tubuhnya.
                Clara sampai di ujung lorong. Buntu. Clara menoleh ke kiri dan melihat ada sebuah pintu yang tertutup. Tangan Clara yang gemetar berusaha memutar kenop pintu. Terkunci! Clara ingin menangis. Apakah hidupnya memang ditakdirkan seperti ini? Dia tidak pernah benar-benar merasakan kebahagiaan. Dan sekarang mungkin adalah saat-saat terakhir hidupnya.
                Clara membalikkan badan dan mendapati Aileen telah berdiri di hadapannya dengan sikap tenang namun sorot matanya liar. Aileen menghalangi jalan Clara untuk melarikan diri.
                “Tt-tunggu..! Tidak bisakah kita membicarakannya baik-baik…..?” Clara berusaha mengatasi ketakutannya. Suaranya bergetar.
Sorot mata Aileen berubah, menjadi tatapan putus asa. “Kau pikir dengan meminta maaf semuanya akan kembali normal? Apa dengan begitu kau bisa mengembalikan kondisi Mom yang sekarang sedang sekarat? Dia gila, Clara! Dia gila!!” Air mata menetes di pipi Aileen. Dengan emosi yang tidak dapat dipendamnya lagi, Aileen melemparkan pisau yang digenggamnya ke arah jantung Clara, berharap semuanya segera berakhir.
Pisau yang terlempar kuat membentur dinding berlapis karet di sebelah kanan Clara. Meleset. Tanpa bisa dicegah, pisau tersebut memantul dan kembali pada pelemparnya. Tidak ada waktu untuk menghindar, apalagi lari. Senjata makan tuan. Pisau itu menancap tepat di leher Aileen. Menimbulkan semburan darah segar yang mengalir deras. Tubuh Aileen ambruk ke depan, membuat pisau di lehernya tembus hingga belakang. Darah menggenang di sekelilingnya.
Mata Clara terbelalak. Wajahnya pucat pasi menatap mayat Aileen yang mati mengenaskan. Tubuh Clara merosot dan terduduk di atas lantai yang ternoda darah, tak mampu bergerak. Gemetar, syok.
Samar-samar terdengar derap kaki mendekat. Tanpa Clara sadari, orang-orang berdatangan. Para karyawan, Madame Rose, bahkan Luke. Teriakan tertahan, ekspresi terkejut, sarta tatapan syok semua tertuju pada tubuh Aileen yang tergeletak tak bernyawa.
“Astaga..!”
“Ya Tuhan! Apa yang terjadi?!”
 “Siapapun..! Cepat selamatkan dia!!”
Di tengah kepanikan, Clara menangis. Kini semua orang menatap ke arahnya. Ekspresi panik berubah menjadi marah.
“Clara! Apa yang telah kau lakukan?! Kau pembunuh!!” Hardik Madame Rose dengan wajah merah padam. Kalimat tuduhan itu membuat orang-orang ikut menghardik dan memaki.
“Panggil polisi!” teriak seseorang.
Wajah Clara semakin pucat. “Tidak! Tidak! Aku tidak membunuhnya! Tidaaaakk..!!” jerit Clara histeris di sela tangisnya.
Luke berjalan mendekat, mencoba menenangkan. Tangannya terulur menyentuh pundak Clara dengan lembut.
“Luke.. tolong katakan pada mereka. Aku bukan pembunuh. Tolong, keluarkan aku dari sini! Aku tidak tahan lagi!” Clara semakin frustasi.
Luke membimbing Clara untuk berdiri. “Tenanglah.. aku akan membebaskanmu…” ujar Luke tenang. Tangannya merogoh saku jaket. “..dari dunia ini.”
DOR!
Tubuh Clara roboh. Lubang di kepalanya mengeluarkan aliran darah yang bercampur dengan darah Aileen. Gelap. Dan semuanya berakhir….


- The End (?)-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar